Melihat Konflik Israel dan Negara Arab dari Perang Yom Kippur

Geopolitik 10 Oct 2023

Beberapa hari yang lalu, tepatnya tanggal 6 Oktober 2023 Saya menonton Al Jazeera, saluran berita Internasional yang didanai oleh Pemerintah Qatar. Saat itu Al Jazeera menayangkan film dokumenter tentang Perang Yom Kippur yang terjadi Tahun 1973. Saya sendiri sudah menonton dokumenter tersebut di bulan Ramadhan lalu.

Film dokumenter ini dibagi menjadi 3 bagian yang berisikan perkembangan keadaan dalam perang tersebut di setiap minggunya. Pada awalnya saya tidak mengingat bahwa Perang Yom Kippur terjadi pada bulan Oktober, ternyata penayangan Film Dokumenter ini untuk memperingati perang itu. Meski sudah pernah menontonnya, saya tetap menonton tayangan ini sampai akhir bagian pertama. Anda dapat menonton dokumenter ini dalam YouTube Al Jazeera

Mengingat Perang Yom Kippur

Sepeninggal Gamal Abdul Nasser, kepemimpinan Mesir dilanjutkan oleh Anwar El Sadat yang juga ikut bersama Gamal Abdul Nasser dalam penggulingan monarki Mesir yang saat itu dipimpin oleh King Farouk.

Setelah berurusan dengan masalah dalam negerinya dengan oposisi, Anwar Sadat mengajukan “proposal” perdamaian dengan Israel. Syarat yang ia berikan adalah Israel harus mengembalikan Semenanjung Sinai yang dikuasai (occupied) oleh Israel semenjak Perang 6 Hari (Six Day War). Namun, tawaran tersebut ditolak mentah-mentah oleh Perdana Menteri Israel saat itu, Golda Meir. Salah satu alasannya adalah karena tidak mempercayai apa yang dikatakan oleh Anwar Sadat, mengingat apa yang dilakukan oleh negara-negara Arab terhadap Israel dalam sejumlah perang yang terjadi setalah pendeklarasian berdirinya negara Israel.

Anwar Sadat membuat sebuah rencana besar agar dia bisa mendapatkan Semenanjung Sinai kembali. Dia berpikir untuk “mengambil sedikit” tanah di Sinai dengan cara berperang, hal itu akan membuat perhatian Amerika Serikat tertuju ke wilayah regional itu dan berharap Amerika akan menjadi “jembatan” untuk mengambil kembali Semenanjung Sinai secara keseluruhan.

Sadat mengajak Presiden Suriah saat itu, Hafez Al-Assad yang wilayahnya (Dataran Tinggi Golan) juga diambil oleh Israel setelah Six Day War. Namun, Assad tidak mengetahui maksud asli dari Anwar Sadat yang sebenarnya hanya ingin menarik perhatian Super Power Amerika Serikat. Mereka berdua pun memilih Bulan Ramadhan yang bertepatan dengan Hari Raya Yom Kippur bagi umat Yahudi. Operasi Badar dinamakan untuk aksi itu, diambil dari nama Perang yang dipimpin oleh Nabi Muhammad yang juga terjadi saat bulan Ramadhan.

Tanggal 6 Oktober 1973 perang resmi dimulai. Israel yang baru mengetahui rencana tersebut satu hari sebelumnya, nampak tidak siap untuk menghadapi pasukan Mesir yang menyebrangi Suez Canal untuk masuk ke Semenanjung Sinai. Jembatan dibuat oleh para Engineer Mesir untuk mengangkut Tank dan alat-alat perang lainnya.

Seminggu awal peperangan terlihat sangat bagus bagi Mesir, rencana Israel untuk memukul mundur pasukan Mesir juga gagal. Bahkan sejumlah tentara Israel pun menyerah dan menjadi POW (tahanan perang).

Dunia Arab sangat terkejut dan senang, karena untuk pertama kalinya mereka bisa mengambil sesuatu dari Israel. Bahkan, beberapa negara Arab ikut membantu Mesir dan Suriah, baik dari segi pasukan, alat militer maupun finansial. Mitos “Israel yang tak terkalahkan” seakan terbantahkan dalam minggu awal perang Yom Kippur ini.

Namun, di minggu kedua peperangan kegembiraan itu berubah menjadi tangisan ketika Israel berhasil memukul mundur pasukan Mesir dan Suriah. Bahkan, Israel hampir mencapai ibu kota suriah, Damaskus. Untungnya, pasukan Kerjaan Maroko, Jordania dan Iraq ikut membantu di sisi Suriah untuk mencegah pasukan Israel mencapai Damaskus.

Pada akhirnya, peperangan itu berhasil menarik perhatian Amerika Serikat ke Wilayah Itu. Secretary of State Amerika Serikat saat itu, Henry Kissinger bertemu dengan Mesir dan Israel untuk membuat kesepakatan Gencatan Senjata. Kesepakatan gencatan senjata pada akhirnya terjadi antara Israel dan Negara Arab.

Perjanjian Perdamaian Pertama Negara Arab dan Israel

Setelah perang Yom Kippur berakhir dengan gencatan senjata, Anwar Sadat membuat sebuah pidato yang mengejutkan. Dia berkata bahwa siap menuju Israel dan berpidato di depan Knesset (Lembaga Legislatif Israel). Beberapa waktu kemudian, Perdana Menteri Israel yang baru, Menachem Begin memberikan undangan resmi kepada Presiden Anwar Sadat untuk datang ke Israel dititipkan melalui Wartawan Amerika Serikat. Setelah undangan itu, mereka berdua tidak memiliki alasan untuk tidak bertemu.

Anwar Sadat menjadi pemimpin Negara Arab pertama yang mengunjungi Israel. Hal itu membuat masyarakat Israel sangat bergembira dan menganggap perdamaian akan segera terjadi. Israel adalah negara Arab dengan pasukan militer terbanyak saat itu. Reaksi yang berbeda ditunjukan oleh masyarakat di negara-negara Arab, mereka menganggap berdiplomasi dengan Israel adalah hal yang tabu dan hanya akan menguntungkan pihak Israel saja.

Setelah disambut oleh Menachem Begin dan beristirahat, Sadat berpidato di depan Knesset dan menyampaikan beberapa hal, dia juga menyinggung terkait nasib Palestina. Sadat juga makan malam bersama para pemimpin Israel, bahkan bertemu dengan Golda Meir yang menjadi Perdana Menteri Israel saat perang Yom Kippur. Dalam pidatonya, Menachem Begin sama sekali tidak menyinggung masalah Palestina.

Menachem Begin membalas kunjungan Anwar Sadat dengan mengunjungi balik Mesir, mereka sepakat untuk melanjutkan pembicaraan perdamaian itu ketahap selanjutnya. Namun, sepertinya Israel dan Mesir tidak menemui kesepakataan dan berakhir buntu.

Jimmy Carter melihat kesempatan yang ada dengan mengajak Anwar Sadat dan Menachem Begin menuju Camp David untuk membuat perundingan perdamaian kedua negara. Pertemuan ini berlangsung dengan panas, hingga Anwar Sadat pun berkata bahwa dia tidak bisa melakukan hal ini. Namun, Jimmy Carter berkata, Jika Sadat kembali ke Mesir maka ini akan menjadi akhir dari hubungan Amerika Serikat dengan Mesir dan akhir hubungan dirinya secara pribadi dengan Sadat.

Secara prinsip, Menachem Begin tidak masalah untuk mengembalikan Semenanjung Sinai kepada Mesir. Namun, untuk persoalan Yerusalem adalah hal lain, karena apa yang ia percayai dalam agamanya, Yerusalem adalah bagian dari Yahudi. Jimmy Carter pun mendesak Sadat untuk menerima draf itu. Pada akhirnya Sadat menyetujuinya. Kekecewaan pun muncul dalam delegasi yang dibawa Sadat, hingga menteri luar negeri Anawar Sadat yang ikut dengannya mengundurkan diri.

Perjanjian Anwar Sadat dan Menachem Begin

Perjanjian Camp David akhirnya tetap terjadi, dan seakan-akan perdamaian juga akan terjadi. Bahkan, karena perjanjian ini, Menachem Begin dan Anwar Sadat mendapatkan Nobel Perdamaian.

Reaksi Negara-Negara Arab dan Pembunuhan

Perjanjian Camp David memunculkan reaksi keras dari negara-negara dan masyarakat Arab. Dari Yaser Arafat hingga Liga Arab menganggap, Anwar Sadat melupakan Nasib Palestina. Bahkan, Liga Arab memindahkan kantor utamanya yang saat itu berada di Kairo. Mesir pun juga “ditendang” dari Liga Arab.

Anwar Sadat beranggapan jika berhasil menjadi sekutu Amerika Serikat, maka kondisi perekonomian Mesir akan membaik. Namun, hal itu tidak terjadi. Satu hal besar yang didapatkan oleh Anwar Sadat dalam perjanjian itu adalah Semenanjung Sinai yang kembali kedalam pangkuan Mesir setelah diduduki oleh Israel dalam Six Day War.

Nasib Anwar Sadat berakhir tragis ketika dia dibunuh saat Peringatan Keberhasilan Mesir Menyebrangi Suez Canal dalam perang Yom Kippur. Saat pemakamannya, tidak ada pemimpin negara anggota Liga Arab yang menghadiri, malah Pemimpin Israel, 3 Mantan Presiden Amerika Serikat, dan beberapa pemimpin negara-negara barat yang menghadirinya.


Palestina merasa menjadi korban karena wilayahnya terus berkurang dan Israel sering “memancing keributan” baik di wilayah Yerusalem maupun Gaza. Mereka juga merasa negara-negara barat menutup mata akan hal itu dan berpihak kepada Israel. Ketidakadilan itu menyebabkan banyak orang disana merasa kecewa dan bergabung dengan organisasi militan seperti Hamas. Mereka meluapkan kekecewaannya dengan meluncurkan serangan-serangan kepada Israel. Israel merasa mereka terus diserang dari dulu oleh Negara Arab dan sekarang oleh Hamas, hal itu menjadi justifikasi mereka untuk melakukan aksi “pembelaan diri”.

Konflik ini akan terus berlanjut, saya rasa secara tidak langsung konflik ini membelah dunia menjadi dua kubu. Di kubu pertama Amerika Serikat dan sekutu negara baratnya yang hingga saat ini tidak mengakui kedaulatan Negara Palestina. Di kubu yang lain adalah negara-negara Timur Tengah dan negara mayoritas muslim yang mendukung pengakuan kedaulatan negara Palestina. Semakin berlalunya konflik ini, membuat beberapa negara Timur Tengah berani untuk menjalin hubugan diplomatik dengan Israel demi keuntungan negara masing-masing. Yang dirugikan tentunya adalah Masyarakat biasa yang tinggal di Palestina, mereka tidak memiliki Bunker seperti yang dimiliki oleh Israel.

Pada akhirnya, menurut saya ada beberapa hal yang harus diselesaikan terlebih dahulu sebelum dapat terciptanya perdamaian antara Israel dan Palestina. Yang paling utama adalah masalah Wilayah, ini adalah hal yang paling sulit dilakukan, bahkan oleh PBB sekalipun. Beberapa proposal untuk solusi dua negara yang diinisiasi oleh PBB tidak mendapat persetujuan penuh dari semua pihak.

Banyak yang berkata jika Konflik Israel dan Palestina bukanlah konflik Agama, menurut saya hal itu kurang tepat. Sudah jelas baik umat Yahudi maupun Muslim sama-sama melakukan klaim atas wilayah Yerusalem sebagai “Tanah yang dijanjikan” berdasarkan kepercayaan dan keyakinan dalam kitab suci masing-masing.

Terima Kasih telah membaca!

See other articles: